lensakalimantan.my..id,Jum'at,16 Mei 2025 — Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Borneo Tenggara melalui Ketua Umumnya, H. Gusti Rendy Firmansyah, menyampaikan sikap resmi terkait munculnya dualisme figur Sultan Banjar yang belakangan menjadi perhatian publik.
“Dalam sistem berbangsa dan bernegara, eksistensi kerajaan dan kesultanan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah pembentukan Indonesia.
Namun, pelestarian warisan tersebut harus berpijak pada keabsahan adat dan nilai historis yang hidup di masyarakat, bukan sekadar seremoni formalitas di ibu kota,” tegas Gusti Rendy.
Pernyataan ini merespons penobatan Pangeran Chevi sebagai "Sultan Budaya" oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Jakarta.
Menurut Gusti Rendy, pengukuhan seorang sultan semestinya lahir dari akar tradisi dan dilaksanakan di tanah adatnya, dengan melibatkan lembaga-lembaga adat yang memiliki otoritas kultural.
“Sultan Haji Khairul Saleh telah dinobatkan melalui prosesi adat yang sah dan diakui oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar.
Sementara pengukuhan Pangeran Chevi dilakukan tanpa pelibatan adat Banjar secara menyeluruh. Ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kita sedang melestarikan budaya atau mempolitisasinya?” ujarnya.
Ia menegaskan, kekuatan seorang pemimpin adat tidak terletak pada pengakuan simbolik, melainkan pada legitimasinya di mata masyarakat adat dan kemampuannya menjaga serta menghidupkan warisan leluhur.
“Jangan jadikan adat sebagai panggung ambisi. Budaya bukan milik segelintir orang, tapi identitas kolektif yang harus dijaga marwahnya,” lanjutnya.
Gusti Rendy mengajak seluruh pihak untuk menempatkan kepentingan pelestarian budaya di atas ego pribadi.
“Mari rawat akar sejarah kita dengan arif. Jangan wariskan kebingungan kepada generasi mendatang karena kita gagal menjaga keaslian tradisi hari ini,” pungkasnya.