"No Viral No Justice”: Telaah Kritis Perspektif Hukum Progresif terhadap Tekanan Publik dalam Penegakan Hukum Era Digital

Lensa Kalimantan
, 4/14/2025 09:34:00 AM WIB Last Updated 2025-04-14T02:34:12Z
---

Lensakalimantan.my.id,- Fenomena “No viral no justice” mencerminkan paradoks dalam praktik penegakan hukum modern, khususnya di era media sosial. 


Keadilan yang seharusnya hadir melalui proses hukum formal kini kerap membutuhkan viralitas sebagai pemantik respons aparat. 


Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dan analisis kritis berbasis teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. 


Tulisan ini menyoroti relasi antara tekanan publik dengan keadilan substantif, serta menelaah potensi bahaya terhadap asas-asas hukum seperti praduga tak bersalah dan due process of law. 


Ditemukan bahwa Hukum Progresif menerima tekanan publik sebagai bentuk kontrol sosial, namun tetap menekankan perlunya reformasi struktural agar keadilan tidak bergantung pada viralitas, tetapi berdiri atas dasar responsivitas sistemik yang berpihak pada rakyat.


Kata Kunci: Hukum Progresif, No Viral No Justice, Keadilan Substantif, Tekanan Publik, Media Sosial


1. Pendahuluan


Dalam beberapa tahun terakhir, ruang digital telah menjadi medium utama bagi masyarakat untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap sistem hukum yang dianggap lamban, diskriminatif, dan tidak berpihak pada korban. Kasus-kasus seperti kekerasan seksual, perundungan, atau penelantaran korban oleh aparat, hanya memperoleh respons setelah viral di media sosial. Fenomena ini dikenal dengan istilah “no viral no justice”.


Realitas ini mengungkap ketidakseimbangan antara hukum dalam tataran normatif dan hukum dalam praktik. 


Seharusnya, keadilan substantif dapat ditegakkan secara otomatis melalui mekanisme hukum positif. 


Namun, dalam banyak kasus, keadilan hanya muncul ketika publik “berteriak” melalui viralitas. 


Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah keadilan memang harus diperjuangkan melalui media sosial? Ataukah fenomena ini justru menjadi bentuk kontrol sosial terhadap institusi hukum yang stagnan?


2. Metode Penelitian


Artikel ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan pendekatan normatif dan sosiologis. Data diperoleh melalui studi pustaka terhadap literatur hukum progresif, media, dan studi kasus terkait fenomena “no viral no justice”. 


Analisis dilakukan dengan teknik reflektif dan hermeneutik terhadap prinsip-prinsip hukum progresif dan hubungannya dengan fenomena sosial digital.


3. Tinjauan Pustaka

3.1 Teori Hukum Progresif


Satjipto Rahardjo memperkenalkan Hukum Progresif sebagai hukum yang tidak semata-mata berpatokan pada teks dan norma, melainkan menjadikan keadilan manusiawi sebagai orientasi utama. 


Ia menyatakan bahwa hukum harus menjadi “jalan keluar” dari penderitaan masyarakat, bukan justru menjadi penghambat keadilan (Rahardjo, 2007).


3.2 Tekanan Publik dan Viralitas


Tekanan publik adalah bagian dari dinamika demokrasi. Dalam konteks media sosial, tekanan ini mengambil bentuk viralitas yang masif, membentuk opini, dan menciptakan urgensi bagi aparat untuk bertindak. 


Namun, viralitas juga dapat menjadi bentuk trial by media yang mengancam asas hukum formal (Nuraini & Djatmika, 2023).


4. Pembahasan

4.1 Fenomena “No Viral No Justice” sebagai Gejala Sosial


Fenomena ini berakar pada krisis kepercayaan publik terhadap institusi hukum. 


Masyarakat memandang bahwa tanpa tekanan sosial, laporan korban sering kali diabaikan. Maka, media sosial menjadi ruang untuk “memaksa” negara bertindak.


Contoh konkret antara lain:

 • Kasus perundungan anak di sekolah yang baru ditindak setelah viral.


 • Kasus pasien meninggal akibat malpraktik yang sebelumnya diabaikan rumah sakit.


 • Kasus kekerasan seksual yang dihentikan karena alasan kekurangan alat bukti, namun dibuka kembali setelah desakan publik.


4.2 Perspektif Hukum Progresif: Antara Keadilan dan Ketertiban.


Hukum Progresif melihat hukum sebagai alat emansipasi, bukan sebagai lembaga yang hanya melayani kekuasaan atau prosedur (Rahardjo, 2007). 


Tekanan publik adalah alarm sosial terhadap kegagalan negara. Dalam konteks ini, Hukum Progresif:


 • Menerima viralitas sebagai bentuk keberdayaan sipil.


 • Mengakui bahwa tekanan publik bisa menjadi pemantik keadilan substantif

 • Menolak formalisme hukum yang kaku dan tidak berpihak pada korban.


Namun demikian, Hukum Progresif tetap mengingatkan bahwa viralitas tidak boleh menggantikan proses hukum yang adil dan berimbang.


4.3 Bahaya Ketergantungan terhadap Viralitas :


 • Menggeser Prinsip Praduga Tak Bersalah

Publik cenderung menghakimi sebelum proses hukum berjalan, menciptakan stigma sosial terhadap terduga pelaku.


 • Mendorong Aparat Menjadi Reaktif, Bukan Responsif.


Aparat bekerja bukan berdasarkan prinsip hukum, tetapi atas tekanan publik. 


Ini mengancam objektivitas dan independensi.


 • Membuka Ruang Politisasi Kasus

Viralitas bisa dimanfaatkan aktor politik atau kelompok tertentu untuk tujuan populis.


4.4 Reformasi yang Didorong oleh Perspektif Hukum Progresif


Hukum Progresif mengusulkan bahwa penyelesaian jangka panjang bukan pada menormalisasi viralitas, melainkan:


 • Meningkatkan kapasitas dan integritas lembaga penegak hukum.


 • Mendorong keterbukaan dan akuntabilitas

 • Membangun kanal pengaduan yang efektif dan dipercaya masyarakat.


 • Mengintegrasikan partisipasi publik dalam mekanisme formal (ombudsman, komnas HAM, dan lain-lain)


5. Kesimpulan :


Fenomena “no viral no justice” adalah refleksi kegagalan sistem hukum dalam memenuhi rasa keadilan publik secara cepat dan berimbang. 


Hukum Progresif memberikan ruang bagi tekanan sosial untuk mengintervensi bila negara gagal menjalankan fungsinya. Namun, hal ini harus tetap dikontrol agar tidak melahirkan ketidakadilan baru melalui penghakiman massal.


Solusi jangka panjang bukan dengan melegitimasi viralitas sebagai prasyarat keadilan, tetapi dengan membangun sistem hukum yang responsif, manusiawi, dan partisipatif, sejalan dengan semangat Hukum Progresif.


Oleh:

Prof. Dr. dr. ABD HALIM, SpPD, SH, MH, MM, MMRS,Ph.D

Guru Besar Ilmu Hukum dan Direktur Program Doktoral AUI Malaysia Bangi Selangor Malaysia

Anggota BHP2A PB IDI 2025 - 2028


Daftar Pustaka

 • Rahardjo, Satjipto. (2007). Hukum Progresif: Hukum untuk Manusia. Jakarta: Kompas.

 • Friedman, Lawrence M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation.

 • Nuraini, L., & Djatmika. (2023). “Keadilan Substantif vs. Keadilan Prosedural dalam Penanganan Kasus Viral.” Jurnal Hukum dan Masyarakat, Vol. 12(1).

 • Raharjo, Susanto. (2022). Hukum dan Media Sosial: Antara Demokrasi dan Penghakiman Massa. Yogyakarta: Genta Publishing.

 • Komnas HAM RI. (2023). Laporan Tahunan Pengaduan Publik dan Viralitas Kasus HAM. Jakarta.

Komentar

Tampilkan

Terkini