"Pak Tua": Anomali Musikal yang Menjadi Ikon di Tengah Deru Rock Elpamas Di Tahun 90an

Lensa Kalimantan
, 5/22/2025 02:20:00 PM WIB Last Updated 2025-05-22T07:21:14Z
---

 


Lensakalimantan.my.id ,- "Pak Tua" Dirilis pada tahun 1991, album Tato menjadi bukti kedewasaan musikal Elpamas—band rock Indonesia yang dikenal dengan keberaniannya menjelajahi berbagai genre. 


Album ini memamerkan spektrum musikalitas yang luas: dari gebukan hard rock yang menggelegar, sentuhan progresif dengan struktur kompleks, hingga nuansa heavy metal dan blues rock yang emosional. 


Dentuman gitar distorsi, riff-riff rumit, dan ritme yang dinamis menjadi benang merah yang menjalin keseluruhan karya ini.


Namun, di tengah keriuhan dan intensitas musikal tersebut, tersembunyi sebuah kejutan: Pak Tua. 


Lagu ini tampil kontras, bagaikan jeda lembut dalam simfoni yang bertenaga. Dengan irama country yang ringan dan melodi sederhana, Pak Tua menghadirkan warna berbeda yang mencuri perhatian. 


Keberadaannya bukan sekadar intermezzo, melainkan sebuah pernyataan artistik yang berani dan cerdik.


Nama di Balik "Pitat Haeng": Iwan Fals


Yang menarik, lagu ini diciptakan oleh sosok legendaris Iwan Fals, namun tak secara eksplisit mencantumkan namanya. 


Sebaliknya, nama Pitat Haeng tercatat sebagai pencipta lagu—sebuah alias yang ternyata adalah samaran dari Iwan Fals sendiri. 


Ini bukan kali pertama Iwan menggunakan nama samaran. Ia pernah melakukannya di album Bukan Debu Jalanan milik Sawung Jabo.


Penggunaan nama samaran ini mencerminkan niat tulus sang musisi: memberi kontribusi murni tanpa membawa pengaruh popularitasnya yang sangat besar. 


Iwan Fals ingin Tato dinikmati karena kualitas musikal Elpamas, bukan karena namanya tercantum. 


Di sisi lain, ini juga dapat dibaca sebagai strategi untuk menghindari sorotan pemerintah Orde Baru, yang dikenal ketat terhadap konten-konten bernada kritik sosial.


Vokal Toto Tewel dan Naluri Artistik Log Zhelebour


Keunikan lain dari Pak Tua terletak pada sosok yang menyanyikannya: Toto Tewel, gitaris utama Elpamas. 


Pada saat itu, Doddy Katamsi, vokalis utama band, dikabarkan kurang tertarik untuk menyanyikan lagu ini karena genre-nya yang jauh dari akar rock Elpamas. 


Namun, produser visioner Log Zhelebour memiliki pandangan lain. Dengan insting musikal dan bisnis yang tajam, Log justru memilih versi vokal Toto Tewel, yang dianggap lebih "apa adanya" dan selaras dengan nuansa country yang dibawakan lagu tersebut. 


Keputusan ini membuktikan keberanian dan kepekaan Log Zhelebour dalam meramu konsep album yang tak hanya kuat secara musikal, tetapi juga berani bereksperimen.


Kritik Sosial Terselubung di Balik Lirik Sederhana :


Lirik lagu Pak Tua menyiratkan pesan yang dalam:


"Kamu yang sudah tua apa kabarmu / Katanya baru sembuh katanya sakit / Jantung ginjal dan encok sedikit saraf / Hati-hati Pak Tua istirahatlah / Di luar banyak angin"


Sepintas terdengar sebagai nasihat ringan kepada orang tua yang sedang sakit. 


Namun, dalam konteks situasi politik masa Orde Baru, lirik ini dapat dibaca sebagai sindiran halus terhadap kekuasaan yang mulai kehilangan vitalitas. 


Sosok “Pak Tua” bisa dimaknai sebagai metafora untuk rezim yang menua, dengan ajakan “istirahatlah” yang mengisyaratkan pergantian kepemimpinan. 


Sementara frasa “di luar banyak angin” memberi bayangan akan gelombang perubahan yang mulai berhembus dari luar lingkaran kekuasaan.


Kemampuan menyelipkan kritik sosial secara subtil ini menjadikan Pak Tua sebagai karya yang tidak hanya musikal tetapi juga intelektual. 


Ia berbicara tanpa harus berteriak—sebuah bentuk perlawanan artistik yang cerdas dan efektif.


Warisan Sebuah Anomali :


Dalam perjalanannya, Pak Tua menjadi salah satu lagu Elpamas yang paling dikenal luas, bahkan di luar komunitas penggemar rock progresif. 


Keberhasilannya tak semata karena melodinya yang ringan dan mudah dicerna, namun juga karena keberanian Elpamas dan Log Zhelebour menampilkan sesuatu yang berbeda, tanpa kehilangan integritas.


Lebih dari sekadar lagu, Pak Tua adalah refleksi dari bagaimana musik dapat menjadi ruang dialog sosial—tempat ekspresi, kritik, dan harapan disampaikan melalui medium yang akrab dan menyentuh. 


Ia membuktikan bahwa di tengah tekanan dan keterbatasan, seni akan selalu menemukan cara untuk bersuara.(bersum/dw)

Komentar

Tampilkan

Terkini