Tanjung Redeb, Kalimantan Timur — Sengketa lahan antara Kelompok Tani Usaha Bersama Maraang (Poktan UBM) dan perusahaan tambang PT Berau Coal kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Rabu (25/6/2025).
Dalam sidang lanjutan ini, tiga saksi kunci dihadirkan untuk membantah legalitas dokumen pembebasan lahan yang diajukan oleh pihak perusahaan.
Tiga saksi tersebut—Beddu (80), Kamaruddin (71), dan Tamrin (75)—merupakan tokoh masyarakat dan mantan Ketua RT di wilayah Kampung Tumbit Melayu, Kecamatan Teluk Bayur. Mereka secara tegas menyatakan bahwa lahan yang disengketakan sejak awal telah digarap oleh masyarakat dan bukan merupakan wilayah konsesi PT Berau Coal.
“Saya tahu betul tanah itu milik masyarakat. Kelompok tani sudah ada sejak tahun 2000, dan saya menjadi Ketua RT saat itu,” ujar Beddu di hadapan majelis hakim.
Kamaruddin, yang menjabat sebagai Ketua RT 9 periode 2001–2003, juga mengungkapkan hal serupa. “Tanah itu digarap oleh masyarakat, bukan perusahaan. Ketua kelompok taninya waktu itu adalah Samppara,” katanya.
Kesaksian tersebut sekaligus membantah keabsahan dokumen-dokumen yang diajukan perusahaan, termasuk surat garapan dan pembebasan lahan. Koordinator Lapangan Poktan UBM, M. Rafik, bahkan menuding adanya pemalsuan dokumen dalam proses tersebut.
“Mereka menggunakan tanda tangan Ketua RT yang sudah tidak menjabat sejak 2003. Ini jelas-jelas pelanggaran hukum. Kami curiga dokumen itu dipalsukan,” ujar Rafik.
Lebih lanjut, Rafik juga menyoroti adanya ketidaksesuaian luas lahan dalam dokumen perusahaan. “Klaim PT Berau Coal hanya sekitar 200 hektare, sementara lahan kelompok tani lebih dari 1.000 hektare. Jangan-jangan ada manipulasi data lagi,” tambahnya.
Menanggapi perkembangan sidang ini, pakar hukum internasional dan ekonomi, Prof. Dr. Sutan Nasomal, mendesak Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI untuk turun tangan langsung dalam mengawasi jalannya persidangan. Ia khawatir kasus ini menjadi ladang subur bagi mafia tanah dan makelar kasus.
“Ini bukan cuma soal tanah. Ini soal keadilan bagi masyarakat kecil. Saya minta masing-masing pihak menghadirkan saksi ahli yang kredibel, dan proses sidang diawasi langsung oleh pejabat tinggi MA dan Kejagung,” tegas Prof. Sutan dalam wawancara via telepon dari Jakarta.
Ia menambahkan bahwa praktik manipulasi dokumen demi kepentingan korporasi besar adalah bentuk pengkhianatan terhadap hukum dan prinsip keadilan sosial.
Di tempat terpisah, aktivis sekaligus tim kuasa hukum Poktan UBM, Yudhi Tubagus Naharuddin, juga menyuarakan pentingnya pengawasan dari lembaga tinggi hukum. Ia menekankan agar keputusan majelis hakim tidak tunduk pada kekuatan modal.
“Praktik manipulasi untuk menguasai lahan rakyat adalah bentuk pelanggaran hak asasi. Negara tidak boleh absen dalam hal ini. Rakyat tidak boleh terus dirugikan atas nama investasi,” ujarnya.
Sidang lanjutan dijadwalkan akan digelar dalam beberapa pekan ke depan. Sementara itu, masyarakat setempat terus menyuarakan harapan agar keadilan berpihak kepada kebenaran, bukan kepada kekuasaan dan uang.(red)