Aliansi Meratus Gelar Aksi Damai Tolak Penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus

Lensa Kalimantan
, 8/17/2025 11:00:00 AM WIB Last Updated 2025-08-17T04:00:44Z
---

Banjarbaru, 15 Agustus 2025 — Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Meratus menggelar aksi damai di depan Kantor Gubernur Kalimantan Selatan pada Jumat (15/8). 


Aksi ini bertujuan untuk menyuarakan penolakan terhadap rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Dinas Kehutanan setempat.


Aksi tersebut diikuti oleh perwakilan masyarakat adat dari berbagai kabupaten di Kalimantan Selatan, antara lain Tabalong, 


Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Banjar, Kotabaru, dan Tanah Bumbu. Selain itu, turut hadir mahasiswa, organisasi masyarakat sipil seperti WALHI Kalsel, PW AMAN Kalsel, GMPD, TBBR, DAD, serta sejumlah organisasi komunitas lainnya.


Dalam orasinya, Aliansi Meratus menyampaikan tiga tuntutan utama kepada Gubernur Kalimantan Selatan:


1. Menarik kembali usulan penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus.


2. Meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghentikan seluruh proses penetapan taman nasional di wilayah tersebut.


3. Mengimplementasikan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.



Tak hanya kepada pemerintah daerah, massa juga mendesak Gubernur agar menyuarakan aspirasi masyarakat adat ke tingkat nasional dengan:


Mendesak pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat pada masa sidang tahun 2025.


Mendorong revisi total terhadap Undang-Undang Kehutanan.


Menuntut pencabutan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.



Dalam pertemuan terbuka dengan perwakilan massa, Gubernur Kalimantan Selatan Muhidin tidak bersedia menandatangani surat pernyataan yang menyatakan dukungan atas penolakan penetapan taman nasional. 


Keputusan tersebut disampaikan tanpa penjelasan substansial yang merespons kekhawatiran masyarakat adat.


Direktur Eksekutif WALHI Kalsel, Raden Rafiq, menyatakan bahwa sikap Gubernur mencerminkan ketidakkonsistenan. 


“Janji ya hanya janji, buktinya ia memilih tidak menandatangani surat komitmen,” ujarnya. Ia menegaskan masyarakat adat harus terus mengawal proses ini hingga rencana penetapan taman nasional benar-benar dihentikan.


Ketua PW AMAN Kalsel, Rubi, menambahkan bahwa Pegunungan Meratus bukanlah tanah kosong. 


“Ada masyarakat adat yang hidup dan menjaga wilayah itu turun-temurun. Bahkan memperjuangkan Perda Pengakuan Masyarakat Adat saja butuh waktu 10 tahun. Sekarang tiba-tiba ingin menetapkan taman nasional tanpa melibatkan mereka,” jelasnya.


Penolakan terhadap penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus didasari kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut akan mengabaikan keberadaan dan hak ulayat masyarakat adat. Pegunungan Meratus membentang di sembilan kabupaten di Kalsel dan menjadi wilayah hidup masyarakat adat Dayak Meratus.


Menurut Aliansi Meratus, konsep taman nasional merupakan kebijakan top-down yang berisiko menggusur wilayah adat, padahal masyarakat lokal telah terbukti mampu menjaga ekosistem Meratus melalui kearifan lokal dan tata kelola yang berkelanjutan.


Aliansi Meratus menegaskan akan terus menolak penetapan taman nasional dan memperjuangkan hak pengelolaan wilayah adat oleh masyarakat adat sendiri. 

Hingga saat ini, dukungan publik terus mengalir. Sebuah petisi online menolak TN Pegunungan Meratus telah mengumpulkan lebih dari 618 tanda tangan pasca aksi damai berlangsung.


“Kita harus kawal bersama proses ini sampai dihentikan sepenuhnya. Meratus bukan hanya hutan, tetapi juga rumah bagi masyarakat adat,” tegas Raden Rafiq.


Suara penolakan dari masyarakat Dayak Meratus semakin menguat. 

Mereka menegaskan bahwa rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang telah turun-temurun menetap dan menjaga wilayah tersebut.


Masyarakat khawatir status taman nasional akan membatasi akses terhadap hutan adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka baik dari segi mata pencaharian seperti berkebun, berladang, berburu, hingga praktik kearifan lokal dalam menjaga ekosistem hutan. 


Mereka menilai, alih-alih melindungi alam, kebijakan tersebut justru berpotensi menghilangkan identitas, ruang hidup, serta hak atas tanah ulayat yang belum diakui negara secara menyeluruh.


Ironisnya, dalam dialog bersama perwakilan aksi, hanya Gubernur Kalimantan Selatan yang memberikan pernyataan. Wakil Gubernur tidak menyampaikan pandangan apa pun. 


Bahkan, Gubernur Muhidin pun tidak berani mengambil sikap tegas. Ia menolak untuk menandatangani surat komitmen yang berisi penolakan terhadap penetapan taman nasional serta pengakuan atas eksistensi hukum adat masyarakat Dayak Meratus.


Sikap pasif dan minim keberpihakan dari pemerintah daerah ini dinilai mencerminkan lemahnya komitmen terhadap perlindungan masyarakat adat. 


Bagi Aliansi Meratus dan para pejuang hak adat, hal ini menjadi sinyal bahwa perjuangan masih harus dilanjutkan, dengan tetap mengedepankan aksi damai, partisipasi publik, dan tekanan moral kepada pengambil kebijakan di berbagai level pemerintahan.


Suara penolakan dari masyarakat Dayak Meratus semakin menguat. Mereka menegaskan bahwa rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang telah turun-temurun menetap dan menjaga wilayah tersebut.


Masyarakat khawatir status taman nasional akan membatasi akses terhadap hutan adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka — baik dari segi mata pencaharian seperti berkebun, berladang, berburu, hingga praktik kearifan lokal dalam menjaga ekosistem hutan. Mereka menilai, alih-alih melindungi alam, kebijakan tersebut justru berpotensi menghilangkan identitas, ruang hidup, serta hak atas tanah ulayat yang belum diakui negara secara menyeluruh.


Ironisnya, dalam dialog bersama perwakilan aksi, hanya Gubernur Kalimantan Selatan yang memberikan pernyataan. Wakil Gubernur tidak menyampaikan pandangan apa pun. Bahkan, Gubernur Muhidin pun tidak berani mengambil sikap tegas. Ia menolak untuk menandatangani surat komitmen yang berisi penolakan terhadap penetapan taman nasional serta pengakuan atas eksistensi hukum adat masyarakat Dayak Meratus.


Sikap pasif dan minim keberpihakan dari pemerintah daerah ini dinilai mencerminkan lemahnya komitmen terhadap perlindungan masyarakat adat. Bagi Aliansi Meratus dan para pejuang hak adat, hal ini menjadi sinyal bahwa perjuangan masih harus dilanjutkan, dengan tetap mengedepankan aksi damai, partisipasi publik, dan tekanan moral kepada pengambil kebijakan di berbagai level pemerintahan.(@Nawarin.SH)

Komentar

Tampilkan

Terkini