Banjarbaru, Rabu (29/10/2024) – Sengketa lahan antara ahli waris almarhum Baso Muhadong dengan pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarbaru terus memanas.
Gerakan Putra-Putri Asli Kalimantan (GEPPAK) Kalimantan Selatan menyatakan melakukan pendampingan hukum dan menuntut kejelasan status lahan yang kini masuk dalam wilayah pembangunan kampus UIN di Banjarbaru.
Kuasa GEPPAK Kalsel menegaskan tanah seluas 3,2 hektare tersebut merupakan hak ahli waris dengan dasar Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 19746, 21190, dan 13100, yang diterbitkan pada tahun 1979 dan 1982.
“Kami minta tidak ada aktivitas proyek apapun sebelum ada penyelesaian pembebasan lahan dengan ahli waris. UIN jangan memulai pembangunan di atas tanah yang belum clear,” kata Rabiatul Adawiyah, Pembina GEPPAK Kalsel sekaligus kuasa pihak ahli waris.
Rabiatul mengklaim pihak UIN sebelumnya pernah menyatakan memiliki Sertifikat Hak Pakai (SHP), namun hingga kini tidak dibuka ke publik.
“Kami sudah tawarkan saling tunjuk dokumen kepemilikan, tetapi pihak UIN tidak pernah memperlihatkannya. Kalau memang legal, kenapa harus disembunyikan?” ujarnya.
GEPPAK juga menyayangkan adanya pernyataan dari pihak kampus yang menuding mereka menghalangi pembangunan negara.
"Kami mendukung pendidikan. Tapi ini jangan dicampuradukkan. Ini murni masalah hak tanah ahli waris. Kami siap duduk bersama menyelesaikan secara baik,” tegas Rabiatul.
Tanggapan Resmi Pihak UIN Antasari
Menanggapi hal itu, Dr. Ahmad Sagir, M.Ag, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan UIN Antasari, membantah tudingan serobot lahan. Ia menegaskan seluruh pembangunan yang dilakukan UIN memiliki dasar hukum yang sah.
“Pembangunan jalan dan proyek kampus yang kami lakukan sudah memiliki dasar hukum yang kuat karena UIN memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Sengketa ini hanya klaim dari satu pihak saja, yakni ahli waris Baso Muhadong. Ini bukan milik banyak warga,” kata Ahmad Sagir.
Menurutnya, persoalan batas lahan juga telah ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat.
“Klaim bahwa sertifikat Baso Muhadong berada di atas lahan UIN itu tidak benar. Inspektorat ATR/BPN Pusat sudah melakukan investigasi dan membatalkan penetapan batas tanah atas nama Baso Muhadong di lokasi tersebut,” tegasnya.
Ahmad Sagir menambahkan bahwa lahan yang digunakan UIN adalah lahan hibah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2014 saat kepemimpinan Gubernur Rudy Arifin.
“Sertifikat tanah UIN memang ada dan sah. Tetapi kami mendapat arahan resmi dari Kejaksaan Tinggi agar tidak memberikan atau memperlihatkannya kepada pihak yang tidak berkepentingan dalam proses hukum.”
Pihak ahli waris, Agus, tetap meminta kejelasan.
“Kami hanya ingin kejelasan status tanah keluarga kami. Sampai sekarang UIN tidak pernah menjawab apakah lahan kami masuk pembebasan atau tidak,” ujarnya.
“Mediasi sudah beberapa kali dilakukan, tapi pihak rektorat tidak pernah hadir langsung. Kami hanya bertemu staf,” tambahnya.
GEPPAK memberi ultimatum 3 x 24 jam kepada UIN untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan ini.
“Kalau kami tidak direspons, kami akan pagar keliling kawasan tanah ahli waris sebagai bentuk pengamanan aset keluarga,” tegas Rabiatul.*lala*


