Pelaihari — Direktur LSM Merah Putih, Hardiansyah, menyoroti fenomena stagnasi jabatan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Banyak pejabat yang menduduki posisi strategis selama bertahun-tahun tanpa rotasi, bahkan ada yang berpindah antarposisi tanpa mekanisme evaluasi terbuka. Menurutnya, situasi ini bukan hanya menimbulkan kejenuhan kerja, tetapi juga menumbuhkan aroma politisasi jabatan dalam tubuh birokrasi.
“Rotasi jabatan ASN itu bukan sekadar penyegaran, tapi bagian dari sistem merit. Kalau ASN bisa bertahun-tahun duduk di kursi yang sama, atau justru orang fungsional diangkat jadi pejabat struktural tanpa dasar kompetensi yang sesuai, ini pertanda ada yang salah dalam tata kelola SDM pemerintahan,” ujar Hardiansyah, Rabu (29/10) di Pelaihari.
Fenomena menarik yang juga disorotnya adalah penunjukan ASN dari jabatan fungsional murni, seperti guru atau tenaga teknis, untuk menjadi Pelaksana Tugas (Plt) di jabatan struktural, misalnya Kepala Bidang (Kabid) di dinas tertentu.
Menurutnya, langkah itu sering dijadikan “jalan pintas” oleh pemerintah daerah ketika tidak ada pejabat struktural aktif yang dianggap layak atau “aman” secara politik untuk menduduki posisi tersebut.
“Sekarang ini ada kecenderungan jabatan di birokrasi diperlakukan seperti kursi politik. Ketika tidak ada pejabat yang sejalan atau dianggap ‘tidak cocok’, maka muncullah penunjukan Plt dari jabatan fungsional. Bahkan guru bisa jadi Plt Kabid, padahal konteks dan kompetensinya jauh berbeda,” ujar Hardiansyah.
Ia menilai pola ini berisiko menabrak prinsip sistem merit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, di mana penempatan jabatan seharusnya berdasarkan kompetensi, kinerja, dan integritas, bukan kedekatan atau kompromi politik.
“Kalau rotasi dan promosi ASN bergantung pada loyalitas, bukan kapasitas, maka birokrasi akan kehilangan arah. ASN yang punya integritas bisa tersingkir hanya karena tidak ‘masuk angin politik’,” tambahnya dengan nada kritis.
“ASN mengalami kejenuhan ibarat mesin administrasi yang mulai berkarat. Mereka hadir secara fisik, tapi kosong secara motivasi. Ini dampak sistem yang tidak memberi ruang gerak dan penghargaan,” ujarnya.
“Bayangkan, seorang ASN yang sudah 10 tahun di jabatan sama melihat orang lain naik karena faktor kedekatan politik. Itu bukan hanya melelahkan secara profesional, tapi juga mematikan semangat kerja,” ujarnya.
Hardiansyah mendorong agar setiap pemerintah daerah menerapkan mekanisme rotasi jabatan periodik berbasis kompetensi serta memperkuat peran Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dalam melakukan asesmen psikologis dan profesional.
Ia juga menyarankan agar kebijakan penunjukan Plt dipersempit ruangnya, dan hanya dilakukan untuk situasi darurat dengan batas waktu jelas. “Plt bukan solusi permanen. Kalau dibiarkan, dia bisa jadi celah politisasi jabatan,” tegasnya.
Menurutnya, birokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika ASN ditempatkan berdasarkan kapasitas, bukan kedekatan. Rotasi jabatan harus dirancang sebagai strategi pengembangan karier, bukan permainan kursi yang ditentukan oleh siapa dekat dengan siapa.
“Kalau tidak ada reformasi serius, maka ASN hanya akan jadi alat kekuasaan, bukan pelayan publik,” pungkas Hardiansyah.


