Banjarbaru, — Isu demokrasi, lingkungan hidup, dan kekuasaan menjadi sorotan utama dalam diskusi publik bertajuk “Oligarki, Otot, Otak, Ongkos: Hikayat Kalsel dan Indonesia” yang digelar di Pendopo Mami Titien, Jalan A. Yani KM.36, Gang Purnama No.14B, Simpang Empat, Banjarbaru, pada Minggu (02/11/2025) pukul 12.00 WITA hingga selesai.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber berpengaruh, yakni Berry Nahdian Forqan, pegiat sosial-politik dan lingkungan hidup; Kisworo Dwi Cahyono, aktivis lingkungan dan pejuang penyelamatan Pegunungan Meratus; serta Prof. H. Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara.
Diskusi berlangsung hangat dan mendalam, membedah hubungan antara oligarki, kekuatan sosial, intelektualitas, dan biaya politik dalam konteks pembangunan Kalimantan Selatan dan Indonesia secara umum. Para narasumber menyoroti bagaimana dominasi kekuasaan ekonomi-politik kerap mempengaruhi kebijakan publik dan kelestarian lingkungan di daerah.
“Kita harus berani menantang struktur oligarki yang merusak demokrasi dan lingkungan hidup. Perubahan hanya bisa terjadi jika masyarakat punya kesadaran dan keberanian kolektif,” ujar Berry Nahdian Forqan dalam paparannya.
Berry menambahkan, hadirnya tempat diskusi ini diharapkan menjadi wadah gagasan dan semangat perubahan di Banua.
“Hadirnya balai ini bagian untuk menggalang ide, gagasan, dan konsep, untuk mencermati berbagai situasi politik pada saat ini. Harapannya nanti muncul upaya-upaya dan gerakan-gerakan perubahan di Kalimantan Selatan,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. H. Denny Indrayana menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan diskusi pertama yang digelar di pendopo yang sementara dinamai Balai Bu Titien, yang berlokasi di kediamannya di Gang Purnama.
“Hari ini diskusi pertama kita di balai yang belum kita tentukan namanya, sementara kita beri nama Balai Bu Titien di rumah saya di Gg. Purnama,” ungkapnya.
Ia berharap tempat tersebut dapat menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk bertukar pikiran, berdiskusi, dan mencari solusi atas berbagai isu sosial, politik, dan kebudayaan di Kalimantan Selatan.
“Harapannya tempat ini menjadi wadah saling berdiskusi, bertukar pikiran tentang segala isu dan unsur untuk mencari solusi terbaik bagi Banua. Mudah-mudahan bisa dimanfaatkan dengan baik untuk ikhtiar kita bersama. Kegiatan apa pun boleh dilakukan di sini — dari seni, budaya, pertemuan, dan lainnya,” tutur Denny.
Guru besar hukum tata negara itu juga menyinggung situasi politik yang kian kompleks menjelang tahun 2026, serta perlunya pendidikan politik yang sehat untuk memperkuat demokrasi.
“Kita tahu, situasi demokrasi kita hari ini sedang dibajak oleh duitokrasi. Penyembuhannya tidak lain adalah pendidikan politik yang baik. Apapun yang kita ikhtiarkan, sekecil apapun, mudah-mudahan memberi warna positif bagi Banua,” pungkasnya.
Dalam perspektif lingkungan, Kisworo Dwi Cahyono menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam sebagai bentuk tanggung jawab sosial masyarakat Kalimantan Selatan.
"Meratus bukan hanya bentang alam, tapi simbol perjuangan rakyat Kalimantan Selatan melawan ketidakadilan ekologis,” tegasnya.
Diskusi publik ini menjadi ruang refleksi bagi masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih bersih, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan.
Acara yang diawali dengan makan siang bersama ini diharapkan menjadi momentum lahirnya gagasan-gagasan baru dan gerakan sosial yang membawa perubahan positif bagi Kalimantan Selatan dan Indonesia.(@tim)




