Berau, Kalimantan Timur – Rabu, 14 Mei 2025,Sidang lanjutan perkara sengketa lahan antara Kelompok Tani Usaha Bersama Mandiri (POKTAN UBM) dengan PT Berau Coal kembali digelar di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb dengan agenda pemeriksaan alat bukti surat (T). Dalam persidangan tersebut, PT Berau Coal tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas lahan yang menjadi obyek sengketa.
Kuasa Hukum POKTAN UBM, Gunawan, S.H., menyampaikan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak PT Berau Coal justru mengarah pada lahan di luar wilayah yang disengketakan.
“Mereka tidak dapat menunjukkan bukti surat kepemilikan atas lahan yang dipersoalkan. Bukti transaksi yang mereka bawa tidak relevan karena berada di luar area POKTAN UBM. Kami menolak semua bukti tersebut,” tegas Gunawan.
Gunawan menambahkan bahwa dengan fakta persidangan ini, pihaknya semakin optimistis bahwa Majelis Hakim akan mengabulkan gugatan. “Ini ibarat seseorang memiliki kendaraan tanpa STNK dan BPKB. Jelas melanggar hukum,” ujarnya.
Sidang ini turut dihadiri oleh Panglima Mandau, sosok yang dikenal sebagai pemimpin pasukan adat Dayak. Ia menyatakan siap mengerahkan ribuan anggota pasukan adat jika proses persidangan tidak berjalan adil.
“Kami akan terus mengawal proses hukum ini. Jika ada indikasi ketidakadilan, kami bersama koalisi LSM siap menurunkan ribuan pasukan demi membela hak masyarakat yang terdzalimi. Ini adalah bentuk jihad kami dalam menegakkan keadilan,” tegasnya di hadapan awak media.
Sementara itu, di tempat terpisah, Yudhi Tubagus Naharuddin dari Badan Penyelenggara Advokasi Independen (BPAI) yang juga merupakan anggota tim kuasa hukum POKTAN UBM, menilai sikap PT Berau Coal tidak mencerminkan tanggung jawab.
“Seharusnya mereka punya rasa malu. Jika benar memiliki lahan itu, tunjukkan bukti kepemilikannya—baik berupa letter C, girik, patok D, SPPF, atau sporadik. Jangan bersembunyi di balik IPPKH, karena itu hanya izin sementara, bukan bukti kepemilikan,” ungkap Yudhi.
Yudhi juga mengutip ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut menekankan pentingnya penyelesaian hak atas tanah masyarakat dalam kegiatan pertambangan, terutama sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (1) dan Pasal 169A.
Sidang ini menjadi sorotan publik mengingat tingginya eskalasi konflik lahan antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal di wilayah Kalimantan Timur. Proses hukum pun diharapkan berlangsung transparan dan berpihak pada keadilan.(@tim)