Berau, 26 Juni 2025 – Sidang sengketa lahan antara Kelompok Tani Usaha Bersama Maraang (Poktan UBM) dan PT Berau Coal kembali digelar.
Dalam sidang yang berlangsung pada Kamis (26/6/2025), pihak perusahaan menghadirkan dua orang saksi, namun kehadiran mereka menuai keberatan keras dari kuasa hukum Poktan UBM, Gunawan, SH.
“Kami sangat keberatan dengan dua saksi ini, karena keduanya adalah karyawan aktif PT Berau Coal,” ujar Gunawan kepada majelis hakim.
Ia menilai kehadiran saksi internal perusahaan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang dapat memengaruhi objektivitas dan netralitas kesaksian di persidangan.
Persidangan kali ini turut diwarnai dengan pernyataan saksi yang saling bertolak belakang. Saksi pertama menyebut bahwa lahan Poktan UBM termasuk dalam Kawasan Hutan Konservasi Berau Kuala (KBK).
Namun, keterangan tersebut bertentangan dengan pernyataan saksi kedua yang sebelumnya terlibat dalam proses pembebasan lahan masyarakat.
Situasi semakin rumit dengan kesaksian saksi ketiga, Warsita, yang mengaku sebagai bagian dari tim UPTD KPHP Berau Barat. Ia menyatakan bahwa surat lahan masyarakat Poktan UBM telah dicabut oleh Narto, yang saat itu disebut sebagai Penjabat (PJ) Kepala Kampung Tumbit Melayu, dengan alasan lahan berada dalam kawasan KBK.
Namun, saat ditanya oleh Gunawan mengenai bukti resmi dari pemerintah terkait status kawasan tersebut, Warsita tidak dapat memberikan dokumen sah.
“Dia tidak memiliki kewenangan formal untuk menyatakan status kawasan. Keterangan ini cacat hukum,” tegas Gunawan, seraya menyebut bahwa lahan yang disengketakan justru berada di Kawasan Budidaya Non-Kehutanan (KBNK).
Gunawan juga menyoroti keabsahan pencabutan surat yang dilakukan oleh Narto. Menurut Mas Pri, mantan Kepala Kampung Tumbit Melayu periode 2018–2023, Narto sebenarnya sudah tidak menjabat sebagai PJ Kepala Kampung sejak 2017.
“Pencabutan surat dilakukan pada 2019, padahal Narto sudah tidak berwenang saat itu,” ujar Mas Pri kepada wartawan di luar persidangan.
Mas Pri juga mengungkapkan bahwa pencabutan surat dilakukan tanpa adanya pemberitahuan atau musyawarah dengan warga pemilik lahan.
“Narto melakukan itu secara sepihak, bahkan menurut saya saat itu dia berada dalam tekanan pihak perusahaan,” katanya.
Lebih lanjut, Mas Pri menyebut bahwa hingga kini Narto masih mengakui keabsahan surat tanah milik masyarakat Poktan UBM, bahkan telah membuat surat pernyataan resmi yang memperkuat pengakuannya tersebut.
Isu intervensi terhadap saksi dan dugaan pemalsuan dokumen juga mengemuka dalam persidangan. Mas Pri mengaku pernah didatangi oleh oknum aparat dan pihak tertentu sebelum memberikan kesaksian.
Beberapa warga serta mantan Ketua RT turut memperkuat dugaan adanya pemalsuan tanda tangan dalam dokumen yang digunakan oleh PT Berau Coal.
Koordinator Poktan UBM, Rafik, menyatakan bahwa pihaknya berencana membawa kasus ini ke ranah hukum atas dugaan pemalsuan dokumen.
“Ada masyarakat yang merasa tanda tangannya dipalsukan. Jika terbukti benar, kami berharap pemerintah meninjau ulang perizinan PT Berau Coal,” ujar Rafik.
Ia menambahkan, jika perusahaan seperti ini dibiarkan, maka bukan manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar tambang, melainkan penderitaan.
“Banyak dokumen yang diduga palsu. Kami mohon penegak hukum bertindak adil dan bijak. Rakyat tidak boleh terus menjadi korban,” tegasnya.
Rafik juga berharap Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, turun tangan membantu masyarakat Kabupaten Berau untuk mendapatkan keadilan.
Dukungan terhadap Poktan UBM juga datang dari sejumlah organisasi masyarakat seperti Panglima Mandau Pasukan Merah Lamin 10001 Mandau, Ormas Galak, dan Permada, yang terus hadir mengawal jalannya persidangan.
Upaya konfirmasi kepada tim legal PT Berau Coal belum membuahkan hasil. Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan masih enggan memberikan keterangan resmi.(rel)