BANJARMASIN — Proyek revitalisasi Sungai Veteran di Kota Banjarmasin menuai kritik tajam dari sejumlah warga dan pegiat lingkungan. Dalam sebuah diskusi publik bertajuk "Revitalisasi Sungai Veteran: Solusi Lingkungan Hidup atau Ancaman Sosial?" yang digelar Koalisi Ruang Hidup Banjarmasin, Minggu (7/7/2025), warga menyebut proyek tersebut lebih bersifat kosmetik ketimbang menyelesaikan persoalan ekologis secara menyeluruh.
Diskusi yang berlangsung terbuka ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni M. Aidhil Pratama, S.H., dan Abdullah Zaky Zuhair, S.H. Keduanya mengkritik pendekatan proyek yang dinilai minim partisipasi publik dan lebih mengutamakan estetika perkotaan dibanding solusi ekologis jangka panjang.
"Kami tidak menolak perbaikan sungai, tapi revitalisasi yang dilakukan hari ini justru mengorbankan masyarakat pinggiran dan memperparah degradasi ekologis," ujar Aidhil. Ia menilai, proyek ini sarat dengan narasi estetika kota namun mengabaikan prinsip keadilan lingkungan.
Hal senada disampaikan Abdullah Zaky Zuhair. Menurutnya, betonisasi bantaran sungai, pembongkaran lapak pedagang kaki lima, hingga pembatasan aktivitas warga di sekitar sungai merupakan bentuk pemiskinan sistematis. Ia menyebut langkah tersebut justru menjauhkan warga dari ruang hidup mereka sendiri.
Sorotan juga datang dari Abdul Rasyid, Koordinator Diskusi sekaligus perwakilan Koalisi Ruang Hidup Banjarmasin. Ia menilai, proyek ini lebih menyerupai penggusuran terselubung yang dibungkus dengan istilah “revitalisasi”.
“Pemerintah berbicara tentang ruang hijau dan solusi lingkungan, namun yang terjadi justru pembetonan bantaran dan hilangnya vegetasi alami. Proyek ini tidak hanya menghapus ruang hidup warga, tapi juga memutus akses mereka terhadap air,” kata Rasyid.
Koalisi juga mengkritik struktur fisik proyek yang mempersempit badan sungai, yang menurut mereka berpotensi meningkatkan risiko banjir. Selain itu, aliran limbah domestik yang terganggu justru memperburuk sistem drainase kota.
Tak hanya itu, mereka menilai proyek ini dijalankan tanpa mekanisme konsultasi publik yang memadai. Banyak warga disebut baru mengetahui rencana revitalisasi ketika alat berat sudah mulai bekerja.
Sebagai bentuk respons, Koalisi Ruang Hidup mendesak agar proyek revitalisasi dihentikan sementara waktu untuk dilakukan evaluasi menyeluruh dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
“Kami menuntut transparansi dan keterlibatan warga dalam proses perencanaan. Ini bukan hanya soal estetika kota, tapi soal keberlanjutan dan keadilan ruang hidup,” tegas Rasyid.
Diskusi ini menjadi titik awal konsolidasi antara warga terdampak dan aktivis lingkungan. Mereka sepakat bahwa setiap pembangunan perkotaan semestinya berlandaskan pada prinsip keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial, bukan sekadar proyek pencitraan yang menyisakan luka di tingkat akar rumput.