Barito Kuala, Selasa, (15 Juli 2025), — Sengketa lahan di Desa Lok Rawa, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, menyeret dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2019, salah satunya merupakan kepala desa aktif. Namun, hingga enam tahun berlalu, kasus ini tak kunjung tuntas dan memunculkan kejanggalan dalam proses hukum.
Laporan tersebut bermula dari Sofyan Hutapea, yang melaporkan dugaan tindak pidana berupa pemasukan keterangan palsu dalam surat otentik dan penjualan tanah milik orang lain, sebagaimana tercantum dalam Laporan Polisi tanggal 3 September 2019.
Dalam proses penyidikan, dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu berinisial JR dan AK.
Namun, menurut kuasa hukum pelapor, Enis Sukmawati dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro, hanya berkas milik JR yang dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum pada 11 Desember 2019.
Sedangkan berkas perkara atas nama AK yang tak lain adalah kepala desa aktif tidak mengalami kemajuan hingga kini.
“Kami datang ke sini ( ke Polres Batola) untuk meminta perkembangan.Hasil penyidikan terkait laporan tindakan penyerobotan tanah yang dilaporkan klien saya sejak tahun 2019,” ujar Enis saat ditemui usai menyerahkan permohonan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada penyidik Polres Barito Kuala.
Enis menambahkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, jika penyidikan dihentikan karena kekurangan bukti, maka seharusnya penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Sampai saat ini klien saya tidak mendapatkan SP3 maupun SP2HP. Bahkan kami mendapat informasi dari penyidik bahwa berkas masih dicari dan dipelajari kembali. Ironisnya, penyidik sebelumnya sudah pensiun,” terang Enis.
Lebih lanjut, Enis menyayangkan fakta bahwa meskipun berstatus tersangka, "AK"masih menjabat sebagai Kepala Desa.
Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1) serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 jo. PP 47 Tahun 2015, kepala desa yang terlibat kasus pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara seharusnya diberhentikan sementara oleh bupati.
“Ini menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Ketika kepala desa bermasalah, banyak hak-hak masyarakat yang dirampas karena kekuasaan digunakan untuk melindungi kejahatan seperti mafia tanah,” tambahnya.
Kasus ini berkaitan dengan lahan milik Sofyan Hutapea seluas 11.000 meter persegi di Desa Lok Rawa. Sertifikat atas nama Sofyan terbit pada tahun 2005, namun muncul sertifikat lain atas nama orang berbeda yang terbit tahun 2017.
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2018, jika ada sertifikat ganda, maka yang diakui adalah yang terbit lebih dahulu.
Kejadian ini pun memperlihatkan indikasi kuat praktik mafia tanah yang melibatkan oknum aparat desa.
Sementara itu, Kasi Humas Polres Barito Kuala IPTU Marum saat dikonfirmasi menyatakan akan mengecek penangan kasusnya
"Kami akan segera melakukan pengecekan kepada penyidik terkait penanganan kasus ini.
Pihak pelapor berharap, dengan permohonan SP2HP yang diajukan, proses hukum dapat berjalan transparan dan berpihak pada korban.
Mereka juga meminta agar pemerintah menindak tegas oknum aparat desa yang diduga terlibat dalam praktik mafia tanah demi kepastian hukum dan keadilan bagi warga negara.(@tim)